Cabut SK Menteri yang melarang pertambangan di hutan lindung & TN

Off the record

Just for GM2020 n RMGB


"Aleg Bonbol Minta Cabut SK Menteri, Terkait Izin Pengolahan Taman Nasional dan Hutan Lindung"


Begitulah judul artikel yang dimuat di harian Gorontalo Post tanggal 22 Maret 2008.

Terkait dengan artikel tersebut, saya tergelitik dengan pemikiran dan ucapan anggota DPRD Kab. Bone Bolango Arjun Mogolaingo: "Di kawasan itu (hutan lindung & TNBNW) terpendam berbagai aset daerah yang seharusnya dapat di nikmati masyarakat Bone Bolango, Banyak sekali potensi alam dalam kawasan itu , kita sebagai masyarakat pun berhak untuk mengolahnya". Bahkan beliau mendesak SK Mentri yang melarang pengolahan hutan lindung dan taman nasional segera dicabut (bagaimana dengan UU No 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, apakah harus dicabut juga?). Membacanya spontan serentetan pertanyaan muncul dibenak saya. Pertama-tama saya cuma bisa geleng-geleng kepala tak mengerti, bagaimana bisa seorang anggota legislatif yang wakil rakyat berpikir dan berbicara seperti itu di media masa? Pertanyaan selanjutnya, apakah aset daerah yang terpendam tersebut? bagaimana cara mengolahnya dan bagaimana masyarakat harus menikmatinya? Sebelum berpikir mengolah aset yang masih terpendam (jika ada), sebaiknya evaluasilah dulu bagaimanakah pengelolaan aset-aset SDA yang telah diolah dan dimanfaatkan (siapa yang memanfaatkan?) selama ini. Ambil contoh Kawasan Wisata Lombongo, yang pengolahannya telah menghabiskan dana APBN milyaran rupiah (yang konon menjadi kasus hukum yang melibatkan pejabat penting dan sampai sekarang tidak jelas ujungnya). Bagaimana hasilnya? Bagaimana nikmatnya? Apakah telah menyentuh sampai ke masyarakat Bonbol terutama masyarakat bawah/lokal? Sejahterakah masyarakat Bonbol dengan proyek yang telah mengorbankan uang mereka milyaran rupiah tersebut? Dan bagaimanakah kondisinya saat ini? Memprihatinkan! Tapi tidak masalah, toh nanti juga akan dimasukkan dalam RAPBN mendatang... artinya proyek lagi, uang rakyat lagi dipakai. Sungguh ironis! Selama ini, umumnya yang namanya eksploitasi SDA yang berkedok pengelolaan hanya memberi keuntungan besar pada sedikit orang (kaya), tetapi meninggalkan kesengsaraan pada banyak orang (miskin) hingga ke anak cucu dan generasi yang akan datang. Pahamkah mereka dengan konsep sustainable development? Bencana banjir yang datang bertubi-tubi melanda Gorontalo yang notabene berasal dari sungai Bone dan sungai Bolango ternyata tidak juga mengetuk hati para aleg dan elit politik untuk bersama-sama mempelajari fenomena ini, bersama-sama mengerahkan ilmunya untuk menghasilkan teknologi/solusi pengendaliannya dan bersama-sama menjaga kelestarian dan fungsi utama hutan lindung yang merupakan water catcment area.

Mari kita menghitung berapa kerugian yang ditimbulkan oleh banjir (meskipun banjirnya cuma sehari). Secara awam saya menghitung berdasarkan pengalaman keluarga saya yang mengalaminya (note: di gtlo saya tidak pernah mengalami banjir, tapi di bogor kamar saya kemasukan air limpahan dari jalan!). Saya mencatat kerugian satu rumah saja dan untuk hal-hal yang kelihatannya sepele. Ketika banjir: 1) orang tidak bisa bekerja (untuk yang pekerja harian/pedagang/petani/supir angkot dll tidak menghasilkan uang); 2) perabot dan barang2 pakai yang seharusnya bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama, tidak bisa bertahan lama, bahkan ada yang tidak bisa digunakan lagi sehingga harus membeli lagi; 3) biaya pembersihan, dari beli sapu, kain pel, sabun cuci, sabun mandi, sabun lantai dll, cat rumah/pagar, sewa orang; 4) biaya stres, kelelahan, kurang tidur (bayar tukang pijit), sakit (bayar dokter, obat, rumahsakit); 5) barang dagangan rusak (kerugian bagi yang punya toko, usaha, dll); 6) melonjaknya harga sembako (langka dipasaran karena transportasi terputus, sawah/ladang terendam/gagal panen); 7) naiknya biaya transportasi karena hanya kenderaan tertentu yang bisa melewati banjir; 8) biaya mengungsi (sewa hotel, makanan, transportasi); 9) dan lain-lain. Berapa total pengeluaran yang harus dikeluarkan per rumah/keluarga? sangat besar! Bahkan membuat orang sampai berhutang! Kalikan dengan ribuan (atau puluhan ribu?) rumah/keluarga yang terkena banjir. Tambahkan dengan kerugian dibidang pertanian, peternakan, perkebunan, nelayan, transportasi umum, fasilitas umum, dll. Bayangkan banjir sehari saja bisa menghabiskan dana segitu banyak dan kerugian yang sangat besar! Tidak heran jika Gorontalo mengalami inflasi yang tinggi. Kemudian mari lagi kita lihat total kerugian banjir di Gorontalo. Hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun kerugian akibat banjir (banjir besar, tidak termasuk banjir setempat) telah mencapai hampir Rp. 220 M, dengan rincian banjir :

  1. Juni 2006: kerugian mencapai Rp. 39.963.675.000,-. (http://www.gorontaloprov.go.id).
  2. Februari 2007: kerugian banjir yang melanda lahan pertanian di Kab. Pohuwato Rp. 55 juta (http://www.gorontalopost.info)
  3. Desember 2007: kerugian ditaksir mencapai Rp. 175,5 M (Kota Gorontalo Rp. 50,5 M, Kab. Bonbol Rp. 50 M, Kab. Gorontalo Rp. 75 M (http://www.gorontalopost.info)
  4. Maret 2008: kerugian mencapai 2,2 M (www.metrotvnews.com)
(Hitung sendiri kerugiannya jika SK Mentri tsb dicabut dan hutan lindung/TNBNW di eksploitasi..!)

Terkait dengan banjir, isu global yang lagi hangat-hangatnya di Gorontalo sekarang ini adalah rencana dibukanya kegiatan pertambangan di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Sebelum ribut-ribut tentang rencana pertambangan di Kab Bone Bolango, tidak ada yang tahu bahwa areal TNBNW menyimpan deposit emas hingga sebuah perusahan tambang besar PT. Gorontalo mineral mengajukan proposal untuk melakukan pertambangan di kawasan tersebut dengan lama kontrak 28 tahun. Rencananya perusahaan ini akan menguasai areal seluas 14.000 Ha yang berada di kawasan TNBNW. Untuk menghindari UU No.5/1990, melalui tangan pemerintah (dalam hal ini Tim peneliti UNG) perusahaan tersebut mengusulkan perubahan RTRW, yaitu areal seluas 14.000 Ha tersebut dikeluarkan dari kawasan TNBNW dan memasukkan areal pengganti dengan luas yang sama, sehingga tidak terjadi pengurangan areal TNBNW. Disini terjadi usaha pengaburan pemahaman, bahwa hakikat & tujuan pembentukan TN/kawasan lindung adalah pada besar luasannya dan bukan pada isi dan fungsi kawasan. Saya mencoba meneropong ke 28 tahun kemudian setelah areal 14.000 ha tersebut telah habis dikeruk dan yang pasti telah rusak berat, kemudian dilakukanlah kembali survey dan ditemukan bahwa di kawasan TNBNW tersebut masih ditemukan kandungan mineral, kemudian areal tersebut ditukar lagi... dan begitu seterusnya... bayangkan sendiri bagaimana wajah TN (Bone bolango) dan banjirnya. Jika Aceh diporakporandakan oleh tsunami yang merupakan peristiwa alam, maka gorontalo porak poranda karena keserakahan dan kebodohan orang Gorontalo. Sebagai orang UNG yang diberi tugas untuk belajar tentang pengetahuan lingkungan ke IPB, hati saya sangat miris dan tidak habis pikir dengan langkah teman-teman tim peneliti UNG, terlebih lagi dengan kenyataan bahwa UNG ini dipimpin oleh seorang profesor ahli lingkungan(!). Menurut saya, UNG adalah lembaga akademisi yang orang2nya (seharusnya) berpikiran ilmiah dan selalu berdasar pada tridarma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. UNG adalah lembaga yang sangat berkompoten melakukan survey tersebut tetapi bukan menjadi tim sukses dari kegiatan yang jelas2 sangat merugikan banyak pihak (terutama masyarakat luas yang akan terkena dampaknya) dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Dengan kekuatan keilmiahan dan kelembagaan yang dimilikinya UNG harus berpegang teguh pada prinsip tridarma perguruan tinggi tersebut, mandiri, kritis dan menjadi benteng terakhir dari serbuan para perusak lingkungan berdasi termasuk terhadap para pengambil keputusan yang oportunis dan berpihak pada perusak.

Di seluruh Indonesia, operasi pertambangan menciptakan kehancuran dan pencemaran lingkungan. Ongkos produksi rendah yang dibangga-banggakan perusahaan dalam laporan tahunannya dicapai dengan mengorbankan lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Selain itu, hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut. Hal ini mengakibatkan perusakan dan pencemaran sungai dan laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat. Dari segi kesehatan, suatu eksplorasi hingga eksploitasi tambang emas sangatlah berbahaya, yang secara jelas dalam proses pemisahan partikel emas dan non emas mengunakan bahan kimia berupa air raksa/mercuri yang secara kimiawi sulit terurai dalam tanah maupun air, yang memungkinkan akan meracuni sumber-sumber air serta lahan yang ada disekitarnya, apakah kita akan makan dengan banyak mengandung residu yang banyak mengandung racun, jikalau kelak tambang emas yang merupakan proyek prestisius jadi dibuka hanya untuk kepentingan segelintir orang yang mempunyai kepentingan ekonomi maupun politis. Sadar maupun tidak sadar kita semua akan merasakan modaratnya dibanding maslahatnya bagi kehidupan. Kemanakah kecemerlangan ide, kreatifitas, kecanggihan teknologi, inovasi dalam menciptakan sumber PAD/devisa selain dari merusak kawasan lindung demi emas? Atau inikah makna inovasi yang menjadi moto dalam membangun Gorontalo yaitu dengan mengeksploitir SDA-nya guna mendongkrak perekonomian dan apakah ini juga merupakan indikasi keterpurukan dan atau kebangkrutan sehingga dengan sadar kita menuju pada bunuh diri masal bersama alam yang kita cintai. Akankah kita hidup berselimut emas taman nasional atau hanya mengali kubur sendiri?.

Mari kita lihat apa yang terjadi pada TN Meru Betiri, ketika 2 perusahan besar berencana membuka pertambangan di kawasan tersebut. Karena gencarnya demo dan protes para aktivis lingkungan, DPRD Jember membentuk Pansus dan melakukan studi banding di kawasan pertambangan Gunung Pongkor di Bogor, lokasi tambang milik usaha KUD Akur di Pacitan, dan pertambangan PT Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa. Dalam sidang paripurna DPRD Jember pada 25 November 2002, panitia yang diketuai H. Machmud Sardjujono itu menyarankan menunda pelaksanaan penambangan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sejak saat itu, tak pernah terdengar kabar soal rencana ini. Pihak pemerintah Kabupaten Jember dan Banyuwangi sendiri kepada TEMPO mengaku tidak lagi memikirkan rencana pertambangan itu. Sementara itu, Kepala TN Meru Betiri, Siswoyo, menyatakan akan berpegang pada sikap semula, yakni menolak rencana pertambangan di areal taman nasional. "Sampai kapan pun kami akan menolak. Saya akan mempertahankan jiwa dan jabatan jika kegiatan pertambangan dibuka," tuturnya tegas. Akankah kita mengikuti jejak mereka? Harus..!!

Buka mata buka telinga dan buka hati, mari kita sama-sama memikirkan masa depan bangsa ini dengan lebih bijak dalam mengisi dan membangun negri ini. Lihatlah begitu banyak saudara-saudara kita yang harus menanggung penderitaan akibat keserakahan segelintir orang dalam mengeruk kekayaan alam kita. Sumberdaya mineral merupakan SDA yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang.

Wassalam

Sekedar info, topik rencana pertambangan di TNBNW ini menjadi topik diskusi yang hangat yang kami selenggarakan di asrama bogor beberapa waktu yang lalu.

MH

0 comments:

Gorontalo Corner

Recents

Latest Comments

Institut Pertanian Bogor terkini

Eramuslim- Nasional

Template by : Faizal Kasim
RMGB Blog is Powered by Blogger-Image Hosting By TinyPic